Selasa, 15 Desember 2009

Dari Rumah Menahan Pemanasan Global



Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia (Kompas, 2/7/2008). Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.

Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.
Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!

Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.

Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.

”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.

Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.

”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.

Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.

Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”

Rumah hijau Charlotte

Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlot- te.

Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.

Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.

Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.

Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.
”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.


Denmark adalah negeri dengan penduduk paling bahagia di dunia (Kompas, 2/7/2008). Awal Juni empat wartawan Indonesia diundang untuk melihat dari dekat bagaimana Pemerintah Denmark memberikan pelayanan prima kepada warganya, termasuk isu lingkungan.

Di Denmark juga ada pernyataan: Bersatu Kita Tegak Mengalahkan Tantangan Iklim (United We Stand in Tackling the Climate Challenge). Mirip slogan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono? Memang. Namun, dalam praktiknya sungguh berbeda. Di Denmark, kebijakan menahan laju pemanasan global dilakukan hingga tingkat grass root, tingkat rumahan.
Lebih dari separuh emisi karbon Denmark berasal dari konsumsi pribadi untuk pemanas, listrik, transportasi, dan barang- barang konsumsi. Warga Denmark pada umumnya sadar dan tahu akan pemanasan global, perubahan iklim, dan perlunya penghematan energi. Namun tidak semua menerapkannya dalam hidup kesehariannya. Kampanye lalu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Transportasi dan Energi secara nasional. Akhirnya sekitar dua tahun lalu muncul ide yang sungguh pintar dan luar biasa dengan membentuk Kementerian Iklim dan Energi—dua kubu yang biasanya bertegangan tinggi soal lingkungan dan emisi karbon!

Kampanye yang dilakukan berisi hal keseharian yang menyentuh langsung kegiatan kehidupan sehari-hari, yang dengan itu warga juga dapat langsung menghitungnya dalam bentuk berapa pengeluaran dan berapa besar investasi jangka panjang yang menyertainya jika mereka mengurangi emisi karbon. Mengurangi emisi karbon lantas menjadi topik keseharian di ”warung kopi”.

Contoh yang amat nyata adalah ketika Pemerintah Denmark mengeluarkan peraturan tentang aturan membuat rumah, semacam syarat-syarat izin mendirikan bangunan (IMB) di Jakarta. Agar semua bergerak ke arah yang dikehendaki—hanya jika pemerintah benar-benar menghendaki(!)—maka harus keluar peraturan yang ditegakkan, bukan hanya dituliskan yang proses pembuatannya pun mahal. Maka, keluarlah peraturan tentang Kode Etik Bangunan.

”Rakyat tidak akan bisa melihat apa keuntungan dari efisiensi energi. Pemerintah yang bisa. Harus mulai dari pemerintah, jadi masyarakat lalu tahu, dan kemudian semua baru bisa berjalan. Tidak bisa diserahkan ke publik begitu saja,” ujar Konselor Menteri pada Kementerian Luar Negeri Denmark Claus Hermansen dalam perjumpaan dengan sejumlah wartawan Indonesia awal Juni lalu.

Prinsip pertama yang diterapkan yaitu prinsip hukuman dan ganjaran (stick and carrot) menyangkut penggunaan energi. Mereka yang boros energi dikenai biaya tinggi dan sebaliknya mereka yang menggunakan energi dengan amat efisien mendapatkan insentif.

”Kami menerapkan pajak energi yang amat tinggi. Kalau energi tidak ada harganya, orang tak akan menghargainya. Mereka akan membuangnya begitu saja dari jendela,” ujar Hermansen mengibaratkan. Dengan cara itu, orang mulai selalu ingat untuk mematikan lampu, memasang AC di suhu sedang sekitar 25° celsius, dan dengan itu mereka bisa menghemat pengeluaran secara signifikan,” ujarnya. Sebagai contoh, harga listrik di Denmark untuk 1 kilowatt jam (kWh) yaitu 250 krone atau sekitar Rp 450.000.

Dengan Kode Etik Bangunan yang baru, pemerintah menargetkan pengurangan penggunaan energi—dikonversi ke minyak bumi—hingga 25 persen-30 persen ketimbang tahun 2006. Bangunan yang ada rata-rata butuh 14 liter minyak per meter persegi (lt/m2). Tahun 2006 penggunaan energi untuk rumah setara 5,5 lt/m2 Target tahun 2010 adalah 3 lt/m2. ”Setelah tahun 2010 peraturan akan kami perketat,” tutur Hermansen. Peraturan itu bersifat wajib. Berangsur semua bangunan harus memiliki sertifikat ”rumah hijau” atau bangunan ”hijau”. Sertifikat diterbitkan oleh Danish Energy Authority.

Bangunan yang bersertifikat dengan berbagai tingkatan harganya memang lebih tinggi daripada bangunan tua yang tidak mengikuti kaidah-kaidah efisiensi energi. Namun, biaya operasionalnya lebih rendah. Tujuan akhirnya, tegas Hermansen adalah, ”Rumah pasif (passive house) yaitu rumah yang tidak menggunakan bahan bakar fosil, rumah tanpa emisi gas rumah kaca (GRK). Suatu saat di masa depan nanti. Kami belum tetapkan kapan.”

Rumah hijau Charlotte

Menyusul kode etik tersebut, pemerintah menunjuk perumahan di daerah Stenløse, kira-kira 30 menit dari Kopenhagen, ibu kota Denmark, untuk menerapkan kaidah-kaidah rumah hijau. Di antaranya yaitu rumah kediaman keluarga Peter Hans Jensen-Charlotte Hjelm. Keluarga muda ini membangun rumah pertamanya sesuai dengan arahan pemerintah. Pasangan ini didampingi penasihat teknis dari pemerintah setempat. Mereka, Mona Dates dan Jens Lemche, mendampingi kami saat mengunjungi rumah Charlot- te.

Keluarga dengan dua anak ini memasang insulasi yang menjadi bagian penting dari sebuah rumah dengan efisiensi energi. Insulasi berfungsi menyerap udara panas dan udara dingin dari luar sehingga suhu di dalam rumah tidak terlalu panas atau dingin. ”Kami tidak membutuhkan banyak gas untuk memanaskan rumah,” tutur Charlotte. Gas pemanas rumah pada bangunan baru telah ditanam sebagai instalasi di bawah rumah sehingga tak ada lagi batang-batang besi di dalam rumah.

Selain itu, penempatan jendela dengan kaca besar-besar juga menyebabkan penggunaan listrik bisa ditekan karena rumah selalu terang. Insulasi dari jendela dibuat maksimal dengan import kaca jendela dengan daya insulasi tinggi dari Swiss.

Penghematan air tanah dilakukan dengan menampung air hujan dengan penampung di bagian bawah halaman rumah. ”Air itu kami gunakan untuk mencuci baju, menggelontor WC, dan mencuci piring. Karena tak ada chlor-nya, hanya perlu detergen sedikit, mencuci juga lebih cepat sehingga listrik yang digunakan lebih sedikit,” jelas ibu dari Andrea dan Jonas ini.

Dengan membangun rumah sesuai standar pemerintah seperti itu, Charlotte dan Mona mengakui biaya pembangunannya lebih tinggi sekitar 5 persen daripada membangun rumah biasa. Dia menghabiskan dana sekitar 3,15 juta krone (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk rumah di atas lahan sekitar 400 m2 itu. Untuk biaya pemanas dia hanya membayar 6.000 krone per tahun (sekitar Rp 12 juta), lebih murah 25 persen dari bangunan biasa. Demikian juga untuk penggunaan listrik.
”Kalau kita mau bumi kita tetap lestari ini harus kita jalani. Ini semua untuk kepentingan kehidupan di masa depan, kita harus mempertahankan bumi,” tegas Charlotte, potret wajah Denmark itu, tanpa ragu.
Sumber:http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=562:dari-rumah-menahan-pemanasan-global&catid=3:green-home&Itemid=7

Jumat, 04 Desember 2009

Warna-Warni Danau Kelimutu



Danau Kelimutu yang terletak di puncak Gunung Kelimutu ini masuk dalam rangkaian Taman Nasional Kelimutu. Danau ini berada di ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut.

Beberapa flora yang dapat ditemui di sekitar danau antara lain Kesambi (Schleichera oleosa), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan bunga abadi Edelweiss. Sedangkan fauna yang ada di sekitar danau, antara lain Rusa (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus sp.), Ayam hutan (Gallus gallus) dan Elang (Elanus sp.)

Danau Kelimutu mempunyai tiga kubangan raksasa. Masing-masing kubangan mempunyai warna air yang selalu berubah tiap tahunnya. Air di salah satu tiga kubangan berwarna merah dan dapat menjadi hijau tua serta merah hati; di kubangan lainnya berwarna hijau tua menjadi hijau muda; dan di kubangan ketiga berwarna coklat kehitaman menjadi biru langit.

Secara adminitratif, Danau Kelimutu berada pada 3 kecamatan, yakni Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru dan Kecamatan Ndona, ketiganya berada di bawah naungan Kabupaten Dati II Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dari ibukota Propinsi NTT, yakni Kupang, pengunjung dapat menggunakan pesawat menuju kota Ende, di Pulau Flores, dengan waktu tempuh mencapai 40 menit. Setiba di Ende, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum berupa mini bus, menuju Desa Kaonara, yang berjarak 93 km, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Dari Desa Koanara menuju Puncak Danau Kelimutu, wisatawan harus berjalan sepanjang 2,5 km.

Mengenai harga tiketnya, anda tidak perlu khawatir. Hingga bulan Februari 2008, dilaporkan pada hari biasa, pengunjung hanya dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 3000, namun pada akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu, pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp. 5000.

Sebagai salah satu objek wisata andalan bagi pemerintah setempat, maka akomodasi di sekitar danau cukup diperhatikan. Di sekitar danau terdapat pondok jaga, shelter berteduh untuk pengunjung, MCK, kapasitas lahan parkir yang mampu menampung sekitar 20 mobil, serta beberapa losmen kecil bagi para wisatawan yang hendak menginap. (Sumber: www.wisatamelayu.com)
Danau Kelimutu yang terletak di puncak Gunung Kelimutu ini masuk dalam rangkaian Taman Nasional Kelimutu. Danau ini berada di ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut.

Beberapa flora yang dapat ditemui di sekitar danau antara lain Kesambi (Schleichera oleosa), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan bunga abadi Edelweiss. Sedangkan fauna yang ada di sekitar danau, antara lain Rusa (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus sp.), Ayam hutan (Gallus gallus) dan Elang (Elanus sp.)

Danau Kelimutu mempunyai tiga kubangan raksasa. Masing-masing kubangan mempunyai warna air yang selalu berubah tiap tahunnya. Air di salah satu tiga kubangan berwarna merah dan dapat menjadi hijau tua serta merah hati; di kubangan lainnya berwarna hijau tua menjadi hijau muda; dan di kubangan ketiga berwarna coklat kehitaman menjadi biru langit.

Secara adminitratif, Danau Kelimutu berada pada 3 kecamatan, yakni Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru dan Kecamatan Ndona, ketiganya berada di bawah naungan Kabupaten Dati II Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Dari ibukota Propinsi NTT, yakni Kupang, pengunjung dapat menggunakan pesawat menuju kota Ende, di Pulau Flores, dengan waktu tempuh mencapai 40 menit. Setiba di Ende, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum berupa mini bus, menuju Desa Kaonara, yang berjarak 93 km, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Dari Desa Koanara menuju Puncak Danau Kelimutu, wisatawan harus berjalan sepanjang 2,5 km.

Mengenai harga tiketnya, anda tidak perlu khawatir. Hingga bulan Februari 2008, dilaporkan pada hari biasa, pengunjung hanya dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 3000, namun pada akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu, pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp. 5000.

Sebagai salah satu objek wisata andalan bagi pemerintah setempat, maka akomodasi di sekitar danau cukup diperhatikan. Di sekitar danau terdapat pondok jaga, shelter berteduh untuk pengunjung, MCK, kapasitas lahan parkir yang mampu menampung sekitar 20 mobil, serta beberapa losmen kecil bagi para wisatawan yang hendak menginap.
Sumber : /www.indonesiaontime.com/humaniora/pariwisata/20-pariwisata/1033-warna-warni-danau-kelimutu.html

Pemanasan Global

Penyebab Pemanasan Global




Matahari adalah sumber kehidupan bumi satu-satunya. Tanpa Matahari, kita sudah punah. Tapi kalau Matahari memancarkan panas yang lebih dari biasanya, kita juga akan terbakar dan kena radiasi. Jadi, sebaiknya yang bagaimana, ya?
Sinar matahari yang baik adalah yang seimbang, yang menyinari bumi sama dengan yang dilepas dari bumi. Bila jumlah panas yang masuk ke bumi dan dipantulkan kembali ke langit sama banyaknya, maka bumi tetap sehat dan layak buat manusia. Tapi bila panas yang dipancarkan ke bumi lebih banyak daripada yang dipantulkan kembali ke angkasa, maka suhu bumi akan panas. Inilah yang disebut pemanasan global atau global warming.
Banyak kerugian yang dirasakan manusia di masa kini dan masa akan datang akibat pemanasan global. Dalam puluhan tahun ke depan diperkirakan ketinggian air laut bertambah karena es di kutub mencair. Yang jelas, pemanasan global terjadi karena manusia melawan alam. Apa saja penyebab pemanasan global dan bagaimana cara mencegahnya? Karto/Wahyu/XY-Kids!
Rumah Kaca
Rumah kaca atau green house sebenarnya adalah suatu bangunan tertutup yang dinding dan atapnya terbuat dari kaca. Rumah kaca ini berfungsi untuk mengatur iklim mikro (iklim di dalam rumah kaca itu) sesuai dengan keinginan kita. Jadi seumpama di luar sedang musim dingin, maka di dalam rumah kaca ini bisa kita bikin hangat suhunya. Caranya dengan menahan panas dari sinar matahari yang masuk melalui dinding dan atap kaca tadi tetap berada di dalam rumah kaca. Makanya rumah kaca lebih banyak digunakan untuk pertanian di daerah yang punya empat musim.
Nah, prinsip yang mirip efek rumah kaca ini juga menyebakan terjadinya pemanasan global di bumi. Panas dari matahari yang masuk ke atmosfer bumi, tidak semuanya bisa dipantulkan kembali keluar atmosfer. Sebagian panas tersebut tetap tertahan di dalam atmosfer bumi. Penyebabnya adalah polusi besar-besaran gas CO2. Gas CO2 yang berlebihan bisa menghambat keluarnya panas matahari yang dipantulkan Bumi.
Polusi gas CO2 ini paling besar berasal pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil ini adalah bahan bakar yang terbentuk dari fosil tumbuhan atau hewan purba. Bahan bakar ini misalnya minyak bumi (yang kemudian jadi bensin dan solar) dan batu bara. Kemajuan teknologi industri dan kendaraan adalah penyumbang terbesar pembakaran bahan bakar fosil ini. Mobil, hingga saat ini, sebagian besar masih menggunakan bensin atau solar, sementara industri masih banyak yang memanfaatkan batu bara sebagai sumber tenaganya.
Jumlah Penduduk (populasi)
Luas tanah di bumi tidak bertambah, tapi jumlah penduduk semakin banyak. Akibatnya, lahan untuk tumbuhan dan pertanian semakin sedikit karena dipakai untuk tempat tinggal manusia. Selain itu, penduduk yang bertambah banyak juga membutuhkan air yang lebih banyak. Air yang seharusnya untuk irigasi tanaman dan tumbuhan berkurang karena dipakai manusia. Tanaman yang tidak mendapat pasokan air akhirnya menghasilkan panen yang semakin sedikit.
Industri
Negara industri atau yang disebut sebagai negara maju adalah yang paling bertanggung jawab terjadinya pemanasan global. Bagaimana tidak, negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa menyumbang 50 persen lebih penyebab pemanasan global. Yang paling buruk adalah industri mobil yang dulu pusatnya di Amerika. Kini industri besar-besaran tidak cuma di Amerika, tapi juga di negara yang sedang berkembang seperti China, India, dan Indonesia. Polusi dari industri hampir merata di seluruh di dunia.
Dimulai dari Hal Kecil
Puluhan tahun lagi pemanasan global semakin dahsyat. Kalau tidak dicegah dari sekarang, bukan tidak mungkin 50 tahun kemudian sebagian dari pulau-pulau di Indonesia akan hilang tenggelam. Soalnya, es di kutub akan mencari dengan meningkatnya suhu pemukaan bumi. Selain itu, manusia bisa kelaparan karena produksi makanan di dunia semakin sedikit. Adalah tanggung jawab semua orang untuk mencegah peningkatan pemanasan global.
Apa yang kita lakukan untuk membantu mencegah peningkatan pemanasan global? Bisa dimulai dari hal kecil. Misalnya,
1. Memakai listrik secukupnya, misalnya lampu dan AC kamar dimatikan saat tidak terpakai. Ini dilakukan agar mengurangi emisi CO2 (sebagian pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih menggunakan tenaga diesel yang butuh solar atau tenaga uap yang butuh batu bara),
2. Jangan mencemari air, misalnya jangan membuang kertas tisu ke toilet,
3. Menggunakan air seperlunya, misalnya mandi dengan shower akan lebih hemat air daripada dengan gayung,
4. Mencintai dan memelihara tumbuhan dan tanaman.
Sumber :www.kidnesia.com/var/gramedia/storage/images/kidnesia/sekitar-kita/teknologi/sejarah-kamera/493011-1-ind-ID/Sejarah-Kamera_large.jpg&imgrefurl=http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Sekitar-Kita/Teknologi/Penyebab-Pemanasan-

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1990
TENTANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;
b. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;
c. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;
d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
f. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
g. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang.

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299).

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang hidup di darat maupun di air.
5. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
8. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tunbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
16. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.


BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN

Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.

Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah menetapkan:
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah pelindungan sistem penyangga kehidupan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami dan atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.


BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA

Pasal 11
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 12
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli.

Pasal 13
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam.
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.


BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM

Pasal 14
Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.

Pasal 15
Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Pasal 16
(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17
(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Dalam rangka kerjasama konservasi internasional, khususnya dalam kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk kegiatan pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka margasatwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.


BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 20
(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
(1) Setiap orang dilarang untuk :
a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

Pasal 22
(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.
(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk negara.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan.

Pasal 25
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 27
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.

Pasal 28
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.


BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Pasal 29
(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 terdiri dari:
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.

Pasal 32
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.

Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau seluruhnya untuk selama waktu tertentu.


BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk:
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT

Pasal 37
(1) Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(2) Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 38
(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 39
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksanaan atas laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.


BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133);
2. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie Java en Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 44
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.

Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd
SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd
MOERDIONO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1990 NOMOR 49
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan

ttd
Bambang Kesowo, S.H.,LL.M.
Sumber:www.anekaplanta.wordpress.com/2008/01/12/undang-undang-nomor-5-tahun-1990-tentang-konservasi-sumber-daya-alam-hayati-dan-ekosistemnya/

Rabu, 25 November 2009

Adat Berwawasan Lingkungan


(Casa producao audio berlatarbelakang Pantai di daerah Liquica,Timor Leste)


Tarabandu adalah tradisi baik yang perlu dilestarikan untuk mengembangkan kehidupan rakyat. Lingkungan bisa dijaga dan pertanian rakyat bisa berkelanjutan untuk mendukung kehidupan penduduk desa.
Tarabandu merupakan salah satu adat kebiasaan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam era kemerdekaan ini di sana-sini masyarakat desa menghidupkan kembali upacara tarabandu, yaitu menetapkan masa larangan menebang, memetik, dan memungut hasil tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu yang dianggap suci. Tempat yang dianggap suci atau keraman itu adalah tempat yang memberikan penghidupan bagi orang banyak. Misalnya tempat sekitar sumber air atau hutan yang secara ekologis berguna untuk menahan resapan air dan mencegah erosi. Ini merupakan bukti bahwa nenek moyang kita memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlindungan lingkungan hidup.
Di Suco Irabim yang terletak di Subdistrik Uatukarbau, Distrik Viqueque pada 16 Januari 2003 para tokoh masyarakat, yaitu liurai dan empat dato di suco ini bersama masyarakat setempat menyelenggarakan upacara tarabandu. Ini adalah tarabandu yang pertama diselenggarakan setelah zaman Portugis.
Suco ini memiliki sumber air yang sangat penting tidak saja bagi kehidupan seluruh warganya, tetapi juga bagi banyak penduduk di tempat lain. Di suco inilah terletak mata air Sungai Irabim yang mengalir melewati wilayah Irabere, Nabo Tarukasa, Giacai, Combere Comata, Baidubu (Subdistrik Uatokarbau) dan kawasan Maumua Tobolobe yang terletak di Subdistrik Ilomar, Distrik Lautem. Sekitar 150 hektar sawah mendapatkan air dari sungai ini.


Diskusi sebelum upacara tarabandu di Irabim, Uatokarbau
(Foto: Rogério Soares/Direito)


Sehari sebelum upacara tarabandu, para pemuda setempat yang mengikuti pendidikan di Dili bekerjasama dengan para tokoh menyelenggarakan diskusi terbuka mengenai hak rakyat atas lingkungan dan kehidupan yang layak. Penyelenggara menghadirkan pejabat pemerintah seperti Direktur Tanah dan Hartabenda (Land & Property) Pedro de Sousa dan pejabat dari Unit Perlindungan Lingkungan dan Kehutanan yang berbicara tentang kebijakan pemerintah mengenai tanah dan perlindungan lingkungan. Sementara aktivis dari organisasi non-pemerintah Perkumpulan HAK, Institut Sahe, dan Fundasaun Haburas, dan jaringan pertanian berkelanjutan HASATIL berbicara tentang perlunya menerapkan metode pertanian berkelanjutan yang melindungi lingkungan serta bahayanya investasi modal skala besar di bidang pertanian atau sumberdaya alam lain seperti sumber air, yang justru membuat rakyat tidak punya hak atas sumberdaya alam tersebut. Para tokoh adat berbicara tentang tata-cara perlindungan alam menurut tradisi.
Alexandre da Silva, Liurai Irabim, dalam diskusi mengatakan bahwa dulu hutan di tempat kelahirannya sangat lebat. �Dulu di tempat saya, Uatubela, hutannya lebat memberikan air yang bisa memberikan kehidupan kepada komunitas kami. Tetapi setelah Indonesia masuk, kami dipaksa keluar dari tempat kelahiran kami dan sekarang semua hutan sudah ditebang dan dibakar. Air juga sudah kering,� katanya. Menurutnya setelah Timor Leste mendapatkan kemerdekaan, sekarang saatnya memulihkan lingkungan. �Kita mengembalikan lingkungan seperti semula supaya bisa ada lagi air dan hujan untuk memberi kehidupan kepada kami,� katanya tegas.
Pengrusakan lingkungan ini terjadi karena pendudukan Indonesia. Pada 1979, rakyat yang mengungsi ke gunung-gungung terpaksa menyerah akibat pemboman besar-besaran oleh militer Indonesia dengan menggunakan kapal terbang canggih yang diperoleh dari Inggris dan Amerika. Penduduk yang turun gunung untuk menyerah kemudian dipaksa untuk tinggal secara berkumpul di satu tempat baru agar mudah dikontrol oleh tentara pendudukan. Mereka yang berasal dari Uatokarbau dijadikan satu dengan sejumlah penduduk asal Baguia ditempatkan di wilayah Irabim yang sebelumnya adalah hutan. Mereka terpaksa membabat hutan untuk membangun tempat tinggal, serta membuat kebun dan sawah demi mempertahankan hidup.
Selama pendudukan Indonesia, sebagian penduduk terbiasa melakukan penebangan hutan untuk membuat ladang berpindah. Sebagian dari mereka terlena dengan hasil yang berlimpah dari lahan berpindah. Mereka lupa akibat yang akhirnya mereka rasakan sekarang. �Pengolahan ladang berpindah adalah kebiasaan jelek yang harus ditinggalkan. Jangan karena mengejar hasil yang berlimpah dalam satu musim kita menebang semua pohon dan tidak memperhitungkan kerugian di masa mendatang,� kata Oscar da Silva, seorang pemuda asal Irabim yang juga aktivis HASATIL


Memberikan persembahan kepada rain nain dan nenek-moyang (Foto: Rogério Soares/Direito)

Sementara Dato Makaki mengatakan bahwa nenek moyang mereka sejak dulu menghormati air dan hutan yang dianggap lulik (keramat). �Orang menghargai tempat lulik dengan memberi persembahan berupa ayam, kambing, babi, dan kerbau. Air dan hutan kami hormati. Dilarang untuk merusaknya,� katanya. �Dari air kami bisa mendapatkan ikan dan mengairi sawah. Hutan memberikan bahan untuk membangun rumah dan memberi air hujan sehingga kami bisa bertani tepat pada musim tanam,� paparnya.
Upacara tarabandu adalah penghormatan yang dilakukan penduduk kepada air dan hutan atau lingkungan hidup secara keseluruhan. Penduduk memotong binatang ternak sebagai simbol larangan, yaitu larangan untuk pemotongan atau penebangan tumbuhan. Kalau ada yang melanggar, orang tersebut dikenai hukuman berupa kewajiban memotong binatang seperti yang telah dipotong dalam upacara tarabandu.
Tarabandu Suco Irabim diselenggarakan di dekat mata air Sungai Irabere. Upacara dimulai dengan hamulak (berdoa) oleh Liurai Alexandre da Silva di uma fukun. Selanjutnya dilakukan perarakan menuju tempat upacara di dekat sumber air. Di tempat ini dilakukan penghitungan seluruh sanak-saudara, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Seluruh anggota yang hadir diberi selembar daun sirih atau pinang yang berarti bahwa semua ikut serta dalam upacara ini. Yang tidak hadir diwakili oleh yang hadir.
Selanjutnya dilakukan pemotongan binatang persembahan, yaitu ayam, babi, dan kerbau. Hati dari binatang-binatang ini kemudian �dibaca� oleh para tokoh adat untuk mengetahui nasib mereka di masa mendatang. Bagian-bagian penting dari binatangn persembanan tersebut kemudian dipersembahkan kepada arwah nenek-moyang dan Rain Nain (penguasa tanah).
Marçal de Carvalho yang sebagai Oan Mane Irabim bertindak sebagai semacam juru bicara dalam upacara ini. Pada puncak acara, ia menegaskan kembali kesepakatan komunitas bahwa barang dan tempat yang dulu disembah nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan, sekarang diperkuat kembali. �Jangan merusak, kita menghargai dan mencintainya. Kita menghijaukan kembali daerah-daerah yang dilindungi yang meliputi Satoma-Kailaku, Uatubela, Bua�a-Lakasoru, Uatubisoru, dan Hudilale,� katanya.
Ia juga berpesan agar penduduk tidak membiarkan ternaknya masuk ke sungai karena airnya digunakan oleh banyak orang untuk minum. �Tempat penggembalaan adalah sebatas di bawah Taradiga. Ini untuk menjaga kebersihan sumber air,� kata Marçal de Carvalho. Upacara diakhiri dengan makan bersama daging binatang-binatang yang dijadikan korban dalam upacara ini. Daging yang dimasak oleh kaum perempuan ini dimakan dengan nasi. Tempatnya adalah piring terbuat dari anyaman bambu yang disebut bantaka. ***
Sumber:http://www.yayasanhak.minihub.org/direito/txt/2003/22/07_direito.html