Rabu, 25 November 2009

Adat Berwawasan Lingkungan


(Casa producao audio berlatarbelakang Pantai di daerah Liquica,Timor Leste)


Tarabandu adalah tradisi baik yang perlu dilestarikan untuk mengembangkan kehidupan rakyat. Lingkungan bisa dijaga dan pertanian rakyat bisa berkelanjutan untuk mendukung kehidupan penduduk desa.
Tarabandu merupakan salah satu adat kebiasaan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam era kemerdekaan ini di sana-sini masyarakat desa menghidupkan kembali upacara tarabandu, yaitu menetapkan masa larangan menebang, memetik, dan memungut hasil tumbuh-tumbuhan di tempat tertentu yang dianggap suci. Tempat yang dianggap suci atau keraman itu adalah tempat yang memberikan penghidupan bagi orang banyak. Misalnya tempat sekitar sumber air atau hutan yang secara ekologis berguna untuk menahan resapan air dan mencegah erosi. Ini merupakan bukti bahwa nenek moyang kita memiliki kesadaran yang tinggi tentang perlindungan lingkungan hidup.
Di Suco Irabim yang terletak di Subdistrik Uatukarbau, Distrik Viqueque pada 16 Januari 2003 para tokoh masyarakat, yaitu liurai dan empat dato di suco ini bersama masyarakat setempat menyelenggarakan upacara tarabandu. Ini adalah tarabandu yang pertama diselenggarakan setelah zaman Portugis.
Suco ini memiliki sumber air yang sangat penting tidak saja bagi kehidupan seluruh warganya, tetapi juga bagi banyak penduduk di tempat lain. Di suco inilah terletak mata air Sungai Irabim yang mengalir melewati wilayah Irabere, Nabo Tarukasa, Giacai, Combere Comata, Baidubu (Subdistrik Uatokarbau) dan kawasan Maumua Tobolobe yang terletak di Subdistrik Ilomar, Distrik Lautem. Sekitar 150 hektar sawah mendapatkan air dari sungai ini.


Diskusi sebelum upacara tarabandu di Irabim, Uatokarbau
(Foto: Rogério Soares/Direito)


Sehari sebelum upacara tarabandu, para pemuda setempat yang mengikuti pendidikan di Dili bekerjasama dengan para tokoh menyelenggarakan diskusi terbuka mengenai hak rakyat atas lingkungan dan kehidupan yang layak. Penyelenggara menghadirkan pejabat pemerintah seperti Direktur Tanah dan Hartabenda (Land & Property) Pedro de Sousa dan pejabat dari Unit Perlindungan Lingkungan dan Kehutanan yang berbicara tentang kebijakan pemerintah mengenai tanah dan perlindungan lingkungan. Sementara aktivis dari organisasi non-pemerintah Perkumpulan HAK, Institut Sahe, dan Fundasaun Haburas, dan jaringan pertanian berkelanjutan HASATIL berbicara tentang perlunya menerapkan metode pertanian berkelanjutan yang melindungi lingkungan serta bahayanya investasi modal skala besar di bidang pertanian atau sumberdaya alam lain seperti sumber air, yang justru membuat rakyat tidak punya hak atas sumberdaya alam tersebut. Para tokoh adat berbicara tentang tata-cara perlindungan alam menurut tradisi.
Alexandre da Silva, Liurai Irabim, dalam diskusi mengatakan bahwa dulu hutan di tempat kelahirannya sangat lebat. �Dulu di tempat saya, Uatubela, hutannya lebat memberikan air yang bisa memberikan kehidupan kepada komunitas kami. Tetapi setelah Indonesia masuk, kami dipaksa keluar dari tempat kelahiran kami dan sekarang semua hutan sudah ditebang dan dibakar. Air juga sudah kering,� katanya. Menurutnya setelah Timor Leste mendapatkan kemerdekaan, sekarang saatnya memulihkan lingkungan. �Kita mengembalikan lingkungan seperti semula supaya bisa ada lagi air dan hujan untuk memberi kehidupan kepada kami,� katanya tegas.
Pengrusakan lingkungan ini terjadi karena pendudukan Indonesia. Pada 1979, rakyat yang mengungsi ke gunung-gungung terpaksa menyerah akibat pemboman besar-besaran oleh militer Indonesia dengan menggunakan kapal terbang canggih yang diperoleh dari Inggris dan Amerika. Penduduk yang turun gunung untuk menyerah kemudian dipaksa untuk tinggal secara berkumpul di satu tempat baru agar mudah dikontrol oleh tentara pendudukan. Mereka yang berasal dari Uatokarbau dijadikan satu dengan sejumlah penduduk asal Baguia ditempatkan di wilayah Irabim yang sebelumnya adalah hutan. Mereka terpaksa membabat hutan untuk membangun tempat tinggal, serta membuat kebun dan sawah demi mempertahankan hidup.
Selama pendudukan Indonesia, sebagian penduduk terbiasa melakukan penebangan hutan untuk membuat ladang berpindah. Sebagian dari mereka terlena dengan hasil yang berlimpah dari lahan berpindah. Mereka lupa akibat yang akhirnya mereka rasakan sekarang. �Pengolahan ladang berpindah adalah kebiasaan jelek yang harus ditinggalkan. Jangan karena mengejar hasil yang berlimpah dalam satu musim kita menebang semua pohon dan tidak memperhitungkan kerugian di masa mendatang,� kata Oscar da Silva, seorang pemuda asal Irabim yang juga aktivis HASATIL


Memberikan persembahan kepada rain nain dan nenek-moyang (Foto: Rogério Soares/Direito)

Sementara Dato Makaki mengatakan bahwa nenek moyang mereka sejak dulu menghormati air dan hutan yang dianggap lulik (keramat). �Orang menghargai tempat lulik dengan memberi persembahan berupa ayam, kambing, babi, dan kerbau. Air dan hutan kami hormati. Dilarang untuk merusaknya,� katanya. �Dari air kami bisa mendapatkan ikan dan mengairi sawah. Hutan memberikan bahan untuk membangun rumah dan memberi air hujan sehingga kami bisa bertani tepat pada musim tanam,� paparnya.
Upacara tarabandu adalah penghormatan yang dilakukan penduduk kepada air dan hutan atau lingkungan hidup secara keseluruhan. Penduduk memotong binatang ternak sebagai simbol larangan, yaitu larangan untuk pemotongan atau penebangan tumbuhan. Kalau ada yang melanggar, orang tersebut dikenai hukuman berupa kewajiban memotong binatang seperti yang telah dipotong dalam upacara tarabandu.
Tarabandu Suco Irabim diselenggarakan di dekat mata air Sungai Irabere. Upacara dimulai dengan hamulak (berdoa) oleh Liurai Alexandre da Silva di uma fukun. Selanjutnya dilakukan perarakan menuju tempat upacara di dekat sumber air. Di tempat ini dilakukan penghitungan seluruh sanak-saudara, baik yang hadir maupun yang tidak hadir. Seluruh anggota yang hadir diberi selembar daun sirih atau pinang yang berarti bahwa semua ikut serta dalam upacara ini. Yang tidak hadir diwakili oleh yang hadir.
Selanjutnya dilakukan pemotongan binatang persembahan, yaitu ayam, babi, dan kerbau. Hati dari binatang-binatang ini kemudian �dibaca� oleh para tokoh adat untuk mengetahui nasib mereka di masa mendatang. Bagian-bagian penting dari binatangn persembanan tersebut kemudian dipersembahkan kepada arwah nenek-moyang dan Rain Nain (penguasa tanah).
Marçal de Carvalho yang sebagai Oan Mane Irabim bertindak sebagai semacam juru bicara dalam upacara ini. Pada puncak acara, ia menegaskan kembali kesepakatan komunitas bahwa barang dan tempat yang dulu disembah nenek moyang mereka sebagai sesuatu yang memberikan kehidupan, sekarang diperkuat kembali. �Jangan merusak, kita menghargai dan mencintainya. Kita menghijaukan kembali daerah-daerah yang dilindungi yang meliputi Satoma-Kailaku, Uatubela, Bua�a-Lakasoru, Uatubisoru, dan Hudilale,� katanya.
Ia juga berpesan agar penduduk tidak membiarkan ternaknya masuk ke sungai karena airnya digunakan oleh banyak orang untuk minum. �Tempat penggembalaan adalah sebatas di bawah Taradiga. Ini untuk menjaga kebersihan sumber air,� kata Marçal de Carvalho. Upacara diakhiri dengan makan bersama daging binatang-binatang yang dijadikan korban dalam upacara ini. Daging yang dimasak oleh kaum perempuan ini dimakan dengan nasi. Tempatnya adalah piring terbuat dari anyaman bambu yang disebut bantaka. ***
Sumber:http://www.yayasanhak.minihub.org/direito/txt/2003/22/07_direito.html